BERHALA-BERHALA BARU

Gadget | Foto: Google


Berhala adalah obyek berbentuk makhluk hidup atau benda yang didewakan, disembah, dipuja dan dibuat oleh tangan manusia (Wikipedia). Sedangkan mengutip dari kompasiana, “Berhala adalah suatu benda yang disakralkan kemudian dipuja atau disembah sebagai barang suci. Kalau dia berbentuk buku, disebut “buku Suci” , kalau dia berbentuk pohon, disebut pohon suci, kalalu dia berbentuk patung, disebut patung suci,” (Made Teling, 2015). Jadi pada intinya berhala adalah barang atau sesuatu yang diciptakan manusia kemudian disembah oleh manusia itu sendiri.

Lalu pertanyaannya, apakah kini berhala sudah tidak ada? Apakah yang disebut berhala adalah patung-patung yang dulu disembah manusia dan kini telah dimusnahkan berkat adanya ajaran agama?. Jika definisi berhala adalah patung-patung yang disembah oleh manusia, jawabannya pastilah iya. Berhala sudah musnah (tidak bermaksud SARA, karena di  agama hindu-budha patung-patung adalah bagian dari adat, budaya serta agama). Namun jika menilik arti berhala secara luas yang sudah disebutkan di atas, berhala tetaplah eksis dan bahkan semakin bertambah jumlah dan pemujanya.

Kenapa begitu? Karena kita sebagai manusia mulai terikat dan bergantung pada benda-benda mati yang kita ciptakan sendiri, contohnya gadget. Manusia modern tidak bisa lepas dari gadgetnya, bahkan mulai ketergantungan dengan benda-benda tersebut. Setiap pagi yang kita pikirkan adalah gadget, smartphone, kita lupa bahwa hidup ini begitu luas jika dibandingkan layar smartphone yang katanya multi fungsi itu.

Memang sebagai manusia kita harus tetap up to date dengan perkembangan zaman, namun apakah iya kita harus sedemikiannya bergantung dengan benda-benda itu? Apalagi, benda-benda seperti smartphone adalah komoditas ekonomi yang sengaja dijual, dipromosikan atau bahkan dipropagandakan agar semua orang membelinya. Tidak hanya smartphone, barang-barang konsumsi lain seperti pakaian, kendaraan, bahkan makanan sekalipun kini seakan-akan tak lepas dari pemujaan manusia.


Pemujaan disini adalah manusia memandang sesuatu melebihi dari fungsi asli barang atau sesuatu itu sendiri, misalnya, smartphone yang fungsinya aslinya untuk menelpon, chating, browsing yang intinya untuk membantu kebutuhan manusia, malah dipandang sebagai sesuatu yang prestisus,sesuatu yang dijadikan kebanggaan, sebuah prestasi, kepuasan bahkan sebagai penentu strata sosial.

Kita senang dapat membeli motor, sepatu, gadget yang harganya mahal dan tidak semua orang dapat membelinya. Kita senang bahwa pekerjaan kita lebih baik dan lebih keren dari orang lain. kita memandang sesutu sebagai ajang pamer, ajang syirik-syirikan, ajang kompetitif. Namun kita lupa bahwa manusia dilihat derajatnya bukan dari benda-benda yang ia miliki, melainkan ilmu yang ia punya, ilmu yang bermanfaat bagi orang lain.

Kita lupa bahwa semua benda-benda itu sengaja diciptakan dan sengaja di esensikan oleh produsen sebagai barang yang harus kita miliki dan kita puja. Bahkan kita rela mengorbankan orang lain, ‘menyikut’ rekan kantor guna mendapatkan uang lebih untuk digunakan membeli benda-benda pujaan, kita rela bekerja bagaikan budak untuk mendapatkan manfaat semu dari kepemilikan barang pujaan tersebut.

Mengutip kata-kata Tyler Durden dalam film Fight Club (1999), “You're not your job. You're not how much money you have in the bank. You're not the car you drive. You're not the contents of your wallet. You're not your f***ing khakis. You're the all-singing, all-dancing crap of the world,”. Intinya benda-benda yang kita miliki, uang yang ada dikantong kita, pekerjaan kita bukanlah cerminan dari diri kita. Mereka (benda-benda) hanyalah sesuatu yang membantu kita menjalani hidup ini, bukan sesuatu yang mengatur dan membentuk bahkan memperbudak kehidupan kita.

Jadi berhala-berhala tidaklah musnah, mereka terus diproduksi semakin banyak, semakin kuat, semakin menarik perhatian kita, semakin mahal, semakin menjerat dan semakin membawa kita kepada kepuasan semu, palsu dan rekonstruksi belaka.


Berhala-berhala dulu seperti patung kini mulai digantikan dengan berhala-berhala baru seperti gadget, kendaraan, pekerjaan, makanan dan sebagainya. Jadi, dimanakah kita sekarang? Sudahkah kita melewati zaman jahiliah? Apakah sebenarnya kita tetaplah kaum jahiliah? Kapan kita bisa lepas dari kejahiliahan yang kita ciptakan sendiri ini? Jawaban-jawaban dari pertanyaan itu patutlah kita cari, kita pahami dan resapi agar sang “penguasa” tidak lagi menari-nari diatas kejahiliahan kita yang memuja-muju benda-benda ciptaannya.

Arief Apriadi

Comments

Popular posts from this blog

Midsommar Itu Film Putus Cinta, Horornya Cuma Pemanis