Lampu yang Menyala (Wisata Horor Bandung Medical Center)


Image:  Ok Dok

Udara dingin menyambut kami ketika sampai di depan pintu gerbang sebuah rumah sakit tua yang kini tak lagi beroprasi. Jam baru menunjukan pukul 21.00 WIB, namun suasana gelap dan mencekam di pelataran sukses membuat nyali kami sedikit ciut.




"Mau masuk dek?", Tanya seorang pria tua yang tiba-tiba datang memecah keheningan. Pak Rohman namanya, seorang pemandu atau guide tempat ini. Sambil membuka pintu gerbang, ia mempersilahkan kami masuk.

Dari beberapa situs di internet yang saya baca, Rumah sakit Bandung Medical Center yang berlokasi di Jalan H. Wasid No. 1, Lebak Gede ini dikenal sebagai tempat paling angker di kota Bandung.

Hawa mistis dan kelam dari bangunan tua bercat oranye ini, menjadi magnet bagi para pelancong untuk merasakan sensasi wisata mistis.

Dengan merogoh kocek 10 ribu rupiah per orang, plus ongkos 25 ribu rupiah untuk kuncen (pemandu), kita sudah bisa masuk dan berkeliling di rumah sakit tua ini.

Sedikit lucu memang, mendatangi tempat angker saja kita harus mengeluarkan pundi-pundi rupiah.

Pak Rohman (56) menggiring kami kedepan pintu tua berwarna pucat. "Ini pintu masuknya dek, ayo masuk", ucapnya sambil memutar gagang pintu seraya masuk ke dalam.

Saya memberanikan diri untuk masuk pertama. Ternyata setelah masuk, kita masih dihadapkan lagi oleh sebuah pintu yang warnanya sama persis dengan pintu pertama.

Setelah kami semua masuk, pak Rohman buru-buru menutup pintu dengan rapat. Hal itu membuat kami sedikit curiga bahwa ia mempunyai maksud jahat. Ditempat sepi dan gelap seperti ini, suara minta tolong kami tak akan mungkin terdengar.

Nyatanya dugaan kami salah, setelah sampai di ruang loby rumah sakit yang diterangi oleh sebuah bohlam lampu remang-remang, pak Rohman menjelaskan bahwa banyak orang-orang yang nekat menerobos masuk kebangunan ini tanpa izin terlebih dahulu. Oleh karena itu, ia cukup waspada dengan selalu mentup akses masuk kedalam bangunan ini.

Dari penjelasan lelaki tua tersebut, sudah hampir 18 tahun Bandung Medical Center tak berpenghuni atau beroprasi.

Alasannya cukup simpang siur, namun yang sering disebutkan adalah karena terjadi sengketa antara pihak yang merenovasi dengan pihak rumah sakit, sehingga bangunan bergaya kolonial ini ditinggalkan begitu saja dan terbengkalai.

Alat-alat Rumah Sakit seperti kasur, alat rontgen, lampu oprasi, tergeletak begitu saja disudut-sudut ruangan yang kini lebih mirip lokasi syuting film horor dari pada tempat yang ramah untuk seorang pasien.

Terdapat empat lantai di bangunan BMC ini, kami menyusurinya satu persatu menggunakan tangga. Walaupun lift dikatakan masih berfungsi, tak ada jaminan lift tersebut masih cukup aman untuk digunakan.

Dilantai satu, suasana masih biasa-biasa saja, terdapat banyak tumpukan alat-alat rumah sakit dari yang sudah berkarat, hingga yang masih tersegel dalam kardus.

Terdapat satu ruangan di lantai satu yang terkenal keangkerannya dan sering terjadi penampakan, kamar bayi namanya. Kami melihat-lihat ruang tersebut, sambil sesekali melongok kedalam ruangan yang udaranya sedikit pengap. Tak ada apa-apa, ya, mungkin penghuninya cukup malas untuk menampakan diri dihadapan kami.

Langkah kaki kami teruskan untuk menuju lantai dua. Suara langkah kaki cukup nyaring terdengar ditengah sunyinya suasana. Bahkan, beberapa kali kami merasa suara langkah kaki terasa begitu banyak, lebih banyak dari langkah kaki kami seharusnya.

Dilantai dua, gambar seram berwajah manusia sukses membuat bulu kuduk kami merinding. Bagaimana tidak, gambar seram tersebut dihiasi mata berwarna merah yang sangat serasi dengan setting tempat kami berdiri. Horor!

Tak jauh berbeda dengan lantai satu, alat-alat rumah sakit bergeletakan di pojok-pojok kamar. Belasan ranjang besi bertumpuk-tumpuk disudut ruangan, menambah kesan kelam dari rumah sakit yang diresmikan tahun 2000 ini (sebelumnya sampai 1995 masih bernama Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih).

Lanjut kelantai tiga, suasana sedikit lebih mencekam, udara dingin mulai menggrayangi bulu kuduk. Bahkan beberapa teman kami mulai mengaku tak nyaman.

Kami pun masuk keruangan yang saya duga adalah bekas ruang oprasi. Terdapat lampu-lampu besar yang berfungsi untuk menerangi pasien. Listriknya masih berfungsi, sehingga beberapa kali kami mengambil gambar seraya mengabadikan moment.

Sampailah kami dilantai empat. Lantai ini benar-benar berbeda, suasanyanya begitu "biru", ganjil dan kelam. Keberadaan bangsal di sudut bangunan membuat suasana semakin berbeda, begitu temaram, sayup dan remang.

Bahkan, ketika menaiki tangga, tepat disebelah kiri atas lorong bangunan, saya sempat melihat sesosok kain putih yang menggantung di atas plafon. Mungkin saja penglihatan saya salah, namun itu terbukti sukses memacu cepat denyut jantung ini.

Tak lama kemudian, satu dari kami mulai panik dan merasa hal ini sudah cukup. Kami semua pun mengiyakan, dan langsung turun kelantai dasar dengan langkah yang tergesa-gesa. Fyuh.. ahkirnya sampai juga kami di luar.

Lantai empat memang sangat berbeda. Seakan ada tabir yang menyelimutinya sehingga suasana disana begitu angker dan mengganggu. Hal itu menjawab dugaan kami ketika pertama kali sampai ke rumah sakit tua ini, mengapa ada satu ruangan di lantai empat yang lampunya menyala?

Arief Apriadi

Comments

Popular posts from this blog

BERHALA-BERHALA BARU

Midsommar Itu Film Putus Cinta, Horornya Cuma Pemanis